Selasa, 22 Februari 2011

Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan



Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan


A. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan


1. Teori Level Adaptasi
Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula. Vetich dan Arkellin (dalam Helmi, 1999). Dengan demikian dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi.
Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi dalam suatu sistem, artinya ketika keseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Dalam hal ini adaptasi merupakan suatu proses modifikasi kehadiran stimulus yang berkelanjutan. Semakin sering stimulus hadir, maka akan terjadi pembiasaan secara fisik yang disebut sebagai habituasi dan terjadi pembiasaan secara fisik yang disebut adaptasi. Dikatakan Helmi (1995) bahwa ketika seorang mengalami proses adaptasi, perilakunya diwarnai kontradiksi antara toleransi terhadap kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan sehingga orang akan melakukan proses pemilihan dengan dasar pertimbangan yang rasional antara lain meminimalkan biaya.

2. Teori Ekologi (Echological Theory)
Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem menurut Hawley (dalam Helmi, 1999), yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut:
a. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan
b. Interaksi timbale balik yang menguntungkan antara manusia – lingkungan
c. Interaksi manusia – lingkungan bersifat dinamis
d. Interaksi manusia – lingkungan terjasi dalam berbagai level dan tergantung dengan fungsi.
Salah satu teori yang didasarkan atas pandangan ekologis adalah behavior setting) (setting perilaku) yang dipelopori oleh Robert Barker dan Alan Wicker. Premis utama dari teori ini organism environmental fit model yaitu kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang diakomodasikan dalam lingkungan tersebut. Oleh karenanya dimungkinkan adanya pola – pola perilaku yang telah tersusun atau disebut dengan program yang dikaitkan dengan setting tempat. Teori ini kurang mempertahankan proses psikologis dari perbedaan individual dan lebih menekankan uniformalitas atau perilaku kolektif. Hubungan antara manusia – lingkungan lebih dijelaskan dari sisi sifat atau karakter istik sosial seperti kebiasaan, aturan, aktivitas tipikal, dan karakteristik fisik. Dengan mengetahui setting tempat maka dapat diprediksikan perilaku atau aktivitas yang terjadi.

3. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan
Terdapat dua pendekatan yaitu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik (kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya dalam orientasi phenomenology yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik atau signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.
Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.
Pertanyaan untuk mempolakan dimensi dasar dalam lingkungan fisik, seperti cahaya dan suara, sebagai sumber dan perilaku belum terlalu serius diperhitungkan. Dan yang lebih penting adalah signifikansi makna, pengertian, dan proses kognitif sebagai level lain yang berpengaruh terhadap perilaku (sebagai yang sangat penting dalam pendekatan phenomenological) sampai kini belum terdefinisikan. Pendekatan phenomenological untuk lingkungan adalah merupakan pendekatan yang tidak hanya melihat hal itu berlangsung begitu saja namun lebih kepada ‘bagaimana mengalaminya’ seperti yang pertama kali dikatakan oleh Kofka dalam “Lingkungan perilaku” (1935) dan terakhir dikembangkan oleh Lewin’s dalam teori tentang ruang hidup (1936).
Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain :
1.         Adaptational Focus, Fokus penekanan pendekatan ini pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik.
Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :
a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia.
b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia.  Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.
c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model).

2.         Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan interdisiplin keilmuan. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif.
Observasi partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya.
Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Teknik ini sudah lama dilakukan oleh pengamat antropologi dalam kegiatan ilmiahnya. Dengan demikian keilmiahan pengamatan psikologi sosial ini dapat mengeliminir pendapat “ terjadi dengan sendirinya”.
  
B. Metode Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.
a. Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Maksudnya adalah bahwa setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen. Bahkan dengan cara ini dijamin bahwa subjek penelitian dalam suatu kondisi tertentu memiliki peluang yang sama dengan subjek yang sama pada setiap kondisi eksperimen. Dengan cara ini variasi-variasi individu pada subjek penelitian dapat dijadikan alasan adanya perbedaan hasil penelitian, serta adanya kepercayaan yang lebih besar untuk menyimpulkan bahwa hasil penelitian adalah manipulasi-manipulasi dari variabel bebas

b. Studi Korelasi
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat. Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan beragam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi ia tidak dapat memberi pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Barangkali keduanya disebabkan oleh faktor lain yang ketiga seperti kurangnya pendidikan atau kemiskinan (Veitch dan Arkkelin, 1995).

c. Eksperimen Lapangan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.
Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan seharusnya tidak hanya mengembangkan teori-teori dan mengamati dengan cermat hal-hal yang menjadi minatnya, akan tetapi ia juga harus menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis akhir, seorang peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian dan kemudian memilih metode yang palaing layak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.




SUMBER :

Hadinugroho, Dwi Lindarto. Pengaruh lingkungan fisik pada perilaku : suatu tinjauan arsitektural.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1306/1/arsitektur-dwi2.pdf.


Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar