Rabu, 17 November 2010

Duh, Anakku Suka Membantah

Tak selamanya anak bersikap manis dan penurut. Bahkan di saat-saat tertentu anak justru sering membantah. Jangan kaget menghadapinya. Dengan penanganan yang tepat, anak yang suka membantah bisa kok dijinakkan.
Dalam rentang usia 8 sampai 11 tahun, anak bisa tampil mengejutkan orangtua dengan tiba-tiba menjadi “doyan” membantah. Kapan waktu tepatnya, tentu tak ada patokan pasti. Usia 8 samapai 11 tahun perilaku membantah yang memusingkan kepala orangtua lebih sering ditemukan.
Pada masa ini, anak memang mengalami fase-fase peralihan fisik dan emosi dari rentang hidup sebagai anak-anak menuju masa remaja. Pada saat ini, anak sangat ingin menunjukkan identitas pribadi, sementara orientasi dirinya justru sedang bergeser. Dalam berbagai perbedaan kepentingan dan “rasa” anak pun memunculkan sikap membantah sebagai unjuk diri.
Membantah sebagai protes
Bila sikap membantah muncul pada rentang usia 8 sampai 9 tahun, jelas ini penyebabnya bisa jadi sikap orangtua yang terlalu melindungi atau over protective. Padahal di usia anak 8-9 tahun, anak tidak suka perlindungan yang berlebihan dan bahkan sedang memiliki rasa ingin tahu amat besar terhadap lingkungan. Bila terlalu dibatasi, tentu saja anak cenderung memberontak, menolak, yang kemudian diartikan orangtua sebagai sikap membantah.
Tapi sebaliknya, anak usia dibawah 8 tahun ini pun juga bisa membantah sebagai wujud protes. Misalnya, anak protes yang karena orangtuanya terlalu sibuk, hingga kurang memperhatikan dirinya. Padahal, bagi anak, perhatian dan kasih sayang orang tua merupakan faktor penting bagi keamanan dan kenyamanan hidupnya.
Karena itulah perhatian dan kasih sayang orangtua perlu diukur dalam porsi pas, agar tidak diterima anak terlalu besar dan membuat anak tertekan. Sebalikknya membiarkan anak tanpa aturan pun tidak baik. Ada juga orang tua yang mengartikan perhatian dan kasih sayang dengan menuruti semua keinginan anak dan semua serba boleh. Yang seperti itu juga salah dampaknya nanti anak menjadi susah diatur.
Pola asuh tarik ulur
Kadang sikap membantah juga muncul sebagai suatu bentuk ungkapan perbedaan pendapat. Beda pendapatnya sendiri, tentu sah-sah saja. Karena kita semua memahami bahwa tak mungkin selamanya pendapat orangtua dan anak sering sejalan.
Namun, dibutuhkan sebuah dialog dan kompromi agar perbedaan pendapat ini bisa dijembatani dan tidak hancur hanya dalam kubangan saling membantah. Jembatan akan memudahkan orang tua dan memandang perbedaan untuk dicari jalan tengah, bukan sebagai jalan anak untuk membantah orangtua atau sebaliknya jalan orang tua yang marah pada anak.
Idealnya, pola asuh terbaik menerapkan system demokratis, dimana orang tua mengartikan perhatian dan kasih sayang dengan cara tarik ulur kadang dibatasi namun suatu saat dilepas. Dengan pola asuh ini orang tua mau mendengarkan pendapat atau ide dari anak-anaknya, tapi tetap memberi batas.
Misalnya pada jam 6 malam anak mau menonton televisi. Orangtua tidak langsung melarang karena pasti akan terjadi perbedaan pendapat dan anak membantah, tetapi cobalah bernegoisasi, bahwa anak boleh menonton dengan syarat setelah jam 7 harus belajar. Bila melanggar, konsekuesi yang disepakati harus jelas. Misalnya, besok tidak boleh menonton lagi.
Penerapan dengan cara ini bisa meyakinkan anak bahwa orangtua memberikan kepercayaan  sekaligus memintanya menjaga tanggung jawab dan disiplin.
Bangun kepercayaan dan jadilah sahabat anak
Meski demikian masa peralihan dari anak menuju dewasa, memang merupakan masa kritis pada anak, sehingga orangtua perlu memahaminya pula. Bila dimasa sebelumnya belum terbangun kepercayaan yang kokoh, orientasi anak tentu akan lebih dominan tersedot pada teman sebayanya. Maka jurus jitu untuk menjadi sahabat anak dimasa peralihanya adalah dengan membangun komunikasi yang efektif, sejak sekarang.

SUMBER:

Perilaku Orangtua Model Utama Bagi Anak

Meski sering tidak disadari orangtua sesungguhnya merupakan tokoh panutan bagi anak. Celoteh, tindak-tanduk, bahkan mimik muka kita pun bisa ditiru anak. Untuk perilaku positif tentu kita senang. Tapi untuk yang buruk? Tentu tak satu pun orangtua ingin menularkan pada anak mereka.
Ada cerita soal imitasi ucapan ibu pada anaknya. Ketika seorang ibu memanggil anak sulungnya keluar kamar, tiba-tiba anaknya dengan dengan fasih meneruskan ucapan ibunya saat mengingatkannya untuk segera bersiap sekolah.
“Nanti terlambat, sebentar lagi jam setengah tujuh, ayah sudah mau berangkat, jangan sampai ketinggalan, ayo minum susunya, habisakan rotinya!” tiru sang anak sambil bersungut-sungut manuju meja makan.
“Udah hafal deh Bu! Bosen” sambung sang anak cuek sambil duduk di ruang makan. Sang ibu tidak menyangka kalau ucapan yang tanpa sadar diucapkan berulang-ulang setiap pagi bisa ditiru persis sekali sampai nada tinggi rendahnya pula.
Kemudian ada cerita lainya, saat seorang ayah mendapat pujian dari jamaah masjid di daerahnya, “Hebat ya anak-anaknya pak ikhsan, semua pada rajin ke masjid, sama kayak bapaknya.”
Mendengar ini, bisa terjadi jika sang ayah memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Dan untuk menjadi contoh yang baik ini, sang ayah bertahun-tahun harus melawan sifat malasnya untuk pergi shalat subuh di masjid.
Orang tua adalah model utama
Dalam bersikap dan bertingkah laku setiap anak memang banyak meniru pada lingkungannya, mulai dari orangtua, nenek-kakek, om-tante, pengasuh, tetangga, sekolah, guru, teman, bahkan dari tv dan vcd yang ia tonton.
Anak mudah sekali meniru apa yang dia lihat dan menjadikan lingkungan sebagai model kehidupan. Mulai dari ucapan, misalnya kata-kata yang mudah untuk diikuti. Atau, tingkah laku yang dilihat dari tontonan film.
Orangtua pada umumnya menjadi model utama bagi anak. Karena ayah dan ibu adalah dua orang yang berperan dalam pola asuh anak sejak dia hadir ke dunia. Maka, jangan kaget bila cara saat orangtua marah maupun saat menunjukkan kasih sayang, semua akan ditiru dan dipelajari anak.
Bila orangtua terbiasa menggunakan kata-kata kasar atau caci maki saat kesal dengan orang lain, anak juga akn mempelajarinya dan berpikitr, “oh, kalau marah atau kesal sama orang, begitu ya caranya.” Sehingga, ketika anak kesal pada temannya, maka dia akan begitu juga.
Sebaliknya jika orang tua mengajarkan untuk saling sayang, saling menghormati, tamu datang dihormati, hormat pada orangtua dan kakak, sayang pada adik, bahkan binatang pun disayang. Anak pun akan menirunya. Pada semua orang anak akan menunjukkan rasa hormatnya dan bersikap santun.
Ayo, jadi model yang baik
Banyak orangtua yang memiliki harapan tinggi terhadap anaknya, namun perilaku yang diharapkanya belum dilakukannya. Misalnya, berharap anaknya senang membaca, tetapi orangtua sendiri tidak suka membaca. Menyuruh anaknya sholat berjamaah, padahal dirinya sendiri sering meninggalkanya. Tentu cara ini tidak akan efektif.
Contoh yang baik, akan lebih melekat pada anak bila diiringi dengan penjelasan. Apa manfaatnya senang membaca buku, apa keuntungannya berjamaah di masjid dan sebagainya.
Dengan begitu, anak secara perlahan mulai mengerti tentang pentingnya melakukan perbuatan-perbuatan itu. Sehingga yang diharapkan adalah anak melakukan perilaku tersebut secara sadar dan menyenanginya, bukan karena paksaan. Maka dari itu, mari mulai sekarang kita memaksakan diri menjadi model yang baik untuk anak.

SUMBER:

Dampak Perceraian Terhadap Anak

Perceraian dalam sebuah pernikahan tidak bisa dilepaskan dari pengaruhnya terhadap anak. Banyak faktor yang terlebih dahulu diperhatikan sebelum menjelaskan tentang dampak perkembangan anak setelah terjadi suatu perceraian antara ayah dan ibu mereka.
Faktor tersebut bisa meliputi perubahan usia anak dan tahap perkembangan anak, konflik yang terjadi setelah perceraian, jenis kelamin anak dan gaya pengasuhan orangtua setelah bercerai. Kesemua hal itu dapat menggambarkan bagaimana dampak yang diberikan akibat perceraian terhadap perkembangan anak pada saat itu dan masa yang akan datang.
Perubahan Usia dan Perkembangan
Usia anak pada saat bercerai perlu dipertimbangkan. Tanggapan tanggapan anak kecil atas perceraian ditengahi oleh terbatasnya kompetensi kognitif dan sosial mereka, ketergantungan mereka terhadap orangtuanya.
Belum matangnya faktor kognitif dan sosial mereka akan lebih menguntungkan mereka ketika remaja. Pada saat remaja, mereka lebih sedikit ingat mengenai konflik dan perceraian yang terjadi pada saat mereka masih kecil. Tetapi tidak dipungkiri bahwa mereka juga kecewa dan marah atas perkembangan pertumbuhan mereka tanpa kehadiran keluarga yang utuh atau tidak pernah bercerai.
Anak yang sudah menginjak remaja dan mengalami perceraian orangtua lebih cenderung mengingat konflik dan stress yang mengitari perceraian itu sepuluh tahun kemudian, pada tahun masa dewasa awal mereka. Mereka juga Nampak kecewa dengan keadaan mereka yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh.
Mereka juga menjadi kawatir bila hidup mereka tidak akan lebih baik bila mereka tidak melakukan sesuatu lebih baik. Pada masa remaja mereka dapat masuk dan terperangkap masalah obat obatan dan kenakalan remaja dari pada remaja yang mengalami perceraian orangtua pada saat kecil dan remaja yang tumbuh dalam keluarga utuh.
Konflik
Banyak perpisahan dan perceraian merupakan urusan yang sangat emosiaonal yang menenggelamkan anak ke dalam konflik. Konflik ialah suatu aspek kritis keberfungsian keluarga yang seringkali lebih berat dari pada pengaruh struktur keluarga terhadap perkembangan anak.
Misalnya, keluarga yang bercerai dengan koflik relatif rendah lebih baik dari pada keluarga yang utuh tetapi dengan konflik relatif tinggi. Pada tahun setelah perceraian konflik tidak berkurang tetapi bisa akan terus bertambah. Pada saat ini, anak laki laki dari keluarga bercerai memperlihatkan lebih banyak masalah penyesuaian dari pada anak anak dari keluarga utuh yang orangtuanya ada.
Selama tahun pertama setelah perceraian, kualitas pengasuhan yang dilakukan orangtua seringkali buruk. Orangtua lebih sering sibuk dengan kebutuhan kebutuhan dan penyesuaian dari sendiri seperti mengalami depresi, kebingungan dan instabilitas emosional.
Selama tahun kedua setelah perceraian, orangtua lebih efektif dalam mnegerjakan tugas tugas pengasuhan anak, khususnya anak perempuan.
Jenis Kelamin Anak dan Hakekat Pengasuhan
Jenis kelamin anak dan orangtua pengasuh adalah pertimbangan yang penting dalam mengevaluasi pengaruh perceraian terhadap perkembangan anak. Anak yang tinggal dengan orangtua pengasuh dengan kesamaan jenis kelamin menunjukkan kondisi sosial yang lebih kompeten seperti lebih bahagia, lebih mandiri, dan lebih dewasa dari pada anak yang tinggal dengan orangtua pengasuh yang berbeda jenis kelamin.
Dalam sebuah kajian lain, ditemukan bahwa remaja dengan jenis kelamin baik laki laki dan perempuan yang tinggal dengan keluarga ibu akan lebih dapat melakukan penyesuaian dari pada tinggal bersama keluarga ayah.
Kesimpulan tentang anak anak dari keluarga bercerai. Singkatnya, sejumlah besar anak yang tumbuh dalam keluarga yang bercerai. Kebanyakan anak anak pada mulanya mengalami stress berat ketika orangtua mereka bercerai dan mereka beresiko mengembangakan masalah masalah perilaku. Tetapi perceraian dapat juga melepaskan anak anak dari konflik perkawinan. Banyak anak yang mengalami perceraian orangtua menjadi individu yang berkompeten.
Daftar Pustaka
Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga

SUMBER:

Ketertarikan Kepada Orang Lain (Interpersonal Attraction)

Ketertarikan Kepada Orang Lain (Interpersonal Attraction) tentunya dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih jika mempunyai derajad homophily yang tinggi maka komunikan akan mempunyai ketertarikan satu sama lain.
Sebagai peserta komunikasi (komunikan) seringkali kita merasakan adanya persamaan dan perbedaan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Persamaan dan perbedaan itulah yang disebut sebagai derajad perbandingan komunikan. Beberapa jenis derajad itu antaranya;
  1. Homophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang memiliki kesamaan dalam atribut (sikap, pengalaman, bahasa, intelektual, dsb). Sering berkomunikasi akan mempertinggi homophily. Contoh, orang yang memiliki hobi yang sama akan mempunyai derajad homophily yang tinggi (Rogers).
  2. Heterophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang atributnya berbeda. Derajad ini kurang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi kecuali keduanya memiliki empati (Rogers & Bhowmik).
Ketertarikan terhadap orang lain ini bisa terjadi pada pra-saat-setelah komunikasi interpersonal. Pada saat pra atau sebelum komunikasi interpersonal disebabkan oleh memes.. Seseorang bisa tertarik kepada orang lain dalam berkomunikasi karena adanya penghargaan (reward) yang berupa umpan balik positif. Inilah yang disebutkan tadi sebagai proses penguatan. Beberapa faktor yang menyebabkan ketertarikan terhadap orang lain;
  1. Faktor karakteristik orang lain; orang tertarik kepada orang lain lebih disebabkan oleh fisik (physical attraction). Selain itu, orang tertarik dan lebih merasa tertantang jika mengalami kesulitan dalam meraih perhatian dari orang lain (hard to get effect).
  2. Faktor situasional; orang tertarik kepada orang lain karena biasa bertemu dalam tempat yang dekat (proximity) dan orang tertarik kepada orang lain karena ikatan emosional (familiarity).
Dalam berkomunikasi dengan orang lain maka seringkali ada suatu permasalahan meskipun komunikasi tersebut didasari dengan ketertarikan. Menurut Brehm & Kassin (1996), masalah komunikasi tersebut diantaranya;
  1. Negative affect reciprocity, yaitu proses komunikasi yang bermasalah karena salah satu komunikan membangkitkan kesalahan lawan bicaranya pada masa yang harmonis. Misalnya, suami membangkitkan kesalahan istrinya yang dulu pernah berselingkuh. Permasalahan itu dibangkitkan pada masa yang sedang harmonis.
  2. Demand/ withdraw interaction, yaitu proses komunikasi yang bertepuk sebelah tangan atau tidak ada kesepakatan dalam proses berkomunikasi.
Daftar Pustaka
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. Buku Ajar Psikologi Komunikasi – Fakultas Psikologi Unair 2010.

SUMBER:

Cara Mempengaruhi Orang Lain

Pernahakah anda mencoba untuk mempengaruhi orang lain baik dalam pemahaman, pikiran dan tindakan? Sebagian orang mudah kita pengaruhi dan ada juga sebagian orang yang sulit untuk dipengaruhi. Kenapa sulit untuk mempengaruhi seseorang? sebab kita tidak tahu bagaimana cara untuk meyakinkan mereka agar memiliki kesamaan dengan apa yang kita pikirkan.
Tidak ada salahnya jika kita menggunakan teknik tertentu yang dapat mempengaruhi mereka semua. Cara mempengaruhi orang lain dengan dasar Pendekatan Komunikasi Persuasi dikemukakan oleh Aristotle yang menyatakan terdapat 3 pendekatan dasar dalam komunikasi yang mampu mempengaruhi orang lain, yaitu;
  1. Logical argument (logos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan argumentasi data-data yang ditemukan. Hal ini telah disinggung dalam komponen data.
  2. Psychological/ emotional argument (pathos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan efek emosi positif maupun negatif. Misalnya, iklan yang menyenangkan, lucu dan membuat kita berempati termasuk menggunakan pendekatan psychological argument dengan efek emosi yang positif. Sedangkan iklan yang menjemukan, memuakkan bahkan membuat kita marah termasuk pendekatan psychological argument dengan efek emosi negatif.
  3. Argument based on credibility (ethos), yaitu ajakan atau arahan yang dituruti oleh komunikate/ audience karena komunikator mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidangnya. Contoh, kita menuruti nasehat medis dari dokter, kita mematuhi ajakan dari seorang pemuka agama, kita menelan mentah-mentah begitu saja kuliah dari dosen. Hal ini semata-mata karena kita mempercayai kepakaran seseorang dalam bidangnya.
Menurut Burgon & Huffner (2002), terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan agar komunikasi persuasi menjadi lebih efektif. Maksudnya lebih efektif yaitu agar lebih berkesan dalam mempengaruhi orang lain. Beberapa pendekatan itu antaranya;
  1. Pendekatan berdasarkan bukti, yaitu mengungkapkan data atau fakta yang terjadi sebaga bukti argumentatif agar berkesan lebih kuat terhadap ajakan.
  2. Pendekatan berdasarkan ketakutan, yaitu menggunakan fenomena yang menakutkan bagi audience atau komunikate dengan tujuan mengajak mereka menuruti pesan yang diberikan komunikator. Misalnya, bila terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah maka pemerintah dengan pendekatan ketakutan dapat mempersuasi masyarakat untuk mencegah DBD.
  3. Pendekatan berdasarkan humor, yaitu menggunakan humor atau fantasi yang bersifat lucu dengan tujuan memudahkan masyarakat mengingat pesan karena mempunyai efek emosi yang positif. Contoh, iklan-iklan yang menggunakan bintang comedian atau menggunakan humor yang melekat di hati masyarakat.
  4. Pendekatan berdasarkan diksi, yaitu menggunakan pilihan kata yang mudah diingat (memorable) oleh audience/ komunikate dengan tujuan membuat efek emosi positif atau negative. Misalnya, iklan rokok dengan diksi “nggak ada loe nggak rame…”.
Namun keempat pendekatan tersebut dapat dikombinasikan sesuai dengan tujuan persuasi dari komunikator. Misalnya pendekatan berdasarkan humor dikombinasikan dengan pendekatan berdasarkan diksi. Ataupun pendekatan berdasarkan ketakutan dikombinasikan dengan pendekatan berdasarkan bukti.
Daftar Pustaka
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. Buku Ajar Psikologi Komunikasi – Fakultas Psikologi Unair 2010

SUMBER:

Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Anak

Prestasi dalam belajar merupakan dambaan bagi setiap orangtua terhadap anaknya. Prestasi yang baik tentu akan didapat denganproses belajar yang baik juga. Belajar merupakan proses dari sesuatu yang belum bisa menjadi bisa, dari perilaku lama ke perilaku yang baru, dari pemahaman lama ke pemahaman baru.

Dalam proses belajar, hal yang harus diutamakan adalah bagaimana anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan rangsangan yang ada, sehingga terdapat reaksi yang muncul dari anak.
Reaksi yang dilakukan merupakan usaha untuk menciptakan kegiatan belajar sekaligus menyelesaikannya. Sehingga nantinya akan mendapatkan hasil yang mengakibatkan perubahan pada anak sebagai hal baru serta menambah pengetahuan.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa belajar merupakan kegiatan penting baik untuk anak-anak, bahkan juga untuk orang dewasa sekalipun.

Perlunya perhatian faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses belajar. Suasana yang nyaman dan kondusif mengakibatkan proses belajar akan menjadi lebih baik. Termasuk juga keaktifan proses mental untuk sering dilatih, sehingga nantinya menjadi suatu kegiatan yang terbiasa.
Banyak sekali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar atau prestasi belajar. Orangtua pun perlu untuk mengetahui apa saja faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar pada anak mereka, sehingga orangtua dapat mengenali penyebab dan pendukung anak dalam berprestasi. Berikut adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan:

FAKTOR DARI DALAM DIRI

Kesehatan
Apabila kesehatan anak terganggu dengan sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, maka hal ini dapat membuat anak tidak bergairah untuk mau belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik juga dapat mempengaruhi proses belajar.

Intelegensi
Faktor intelegensi dan bakat besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak. Menurut Gardner dalam teori Multiple Intellegence, intelegensi memiliki tujuh dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik, matematik logis, visual spesial, kinestetik fisik, sosial interpersonal dan intrapersonal.

Minat dan motivasi
Minat yang besar terhadap sesuatu terutama dalam belajar akan mengakibatkan proses belajar lebih mudah dilakukan. Motivasi merupakan dorongan agar anak mau melakukan sesuatu. Motivasi bisa berasal dari dalam diri anak ataupun dari luar lingkungan

Cara belajar
Perlu untuk diperhatikan bagaimana teknik belajar, bagaimana bentuk catatan buku, pengaturan waktu belajar, tempat serta fasilitas belajar.

FAKTOR DARI LINGKUNGAN

Keluarga
Situasi keluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan anak. Pendidikan orangtua, status ekonomi, rumah, hubungan dengan orangtua dan saudara, bimbingan orangtua, dukungan orangtua, sangat mempengaruhi prestasi belajar anak.

Sekolah
Tempat, gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah, rasio jumlah murid per kelas, juga mempengaruhi anak dalam proses belajar.

Masyarakat
Apabila masyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan moral yang baik, terutama anak-anak mereka. Hal ini dapat sebagai pemicu anak untuk lebih giat belajar.

Lingkungan sekitar
Bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas dan iklim juga dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar.
Dari sekian banyak faktor yang harus diperhatikan, tentu tidak ada situasi 100% yang dapat dilakukan secara keseluruhan dan sempurna. Tetapi berusaha untuk memenuhinya sesempurna mungkin bukanlah faktor yang mustahil untuk dilakukan.

SUMBER: